JURUS JITU MELURUSKAN KALBU
Oleh: Neneng R. Agustini, S.Pd
Guru Basa Sunda SMPN I Cipeundeuy
“Apabila manusia melakukan pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta mereka dengan bermacam-macam kebaikan, maka mendekatlah engkau dengan akalmu, niscaya engkau merasakan nikmat yang lebih banyak, yaitu dengan manusia di dunia dan dekat dengan Alloh di akhirat”
- Al Hadis –
Setelah bertahun-tahun berada dalam’ pencarian’ jati diri, ditempa dengan berbagai pengalaman hidup, dari kecil hingga dewasa, memendam berbagai perasaan, senang, sedih, haru, tersakiti, terdzolimi, tersanjung, seperti kata sebuah ikllan permen: “nano-nano, ramai rasanya”.
Ditempa berbagai keadan kadang hati merasa’ kosong’, tidak selamanya hati bisa diajak berdamai, adakalanya berontak, meronta, membuat keputusan dan kesimpulan yang kemungkinan besar akan mencelakai diri sendiri, walaupun tidak terucap oleh teriakan lisan , tidak tertulis dalam kertas dan pena, dan tidak dilakukan oleh prilaku, namun hati memendam bisikan-bisikan yang mengarah pada kesesatan. Hal ini bila dibiarkan berlarut-larut bisa stres lebih jauhnya bisa gila, karena hati selalu mengigau tidak menerima keadaan yang dihadapi, namun tidak berani untuk mengungkapkannya.
Dengan penuh kesadaran diri dan dengan segala kerendahan hati, pada akhirnya hanya kekuatan do’a yang mampuh meluluhkan gejolaj-gejolak itu, hanya Alloh-lah yang memiliki segala kesempurnaan, sehingga tentu saja masih banyak lagi rahasia-Nya yang belum tergali.
Rosululloh menjawab.
“Beribadah kepada Alloh Azza Wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya dan seandainya engkau tidak dapat melihat-Nya, engkau yakin bahwa Dia melihatmu”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan dengan berbagai karakter orang, karena sebagai makhluk sosial hal ini tidak bisa kita hindari, berada di lingkungan masyarakat yang heterogen, dari berbagai aspek, usia, ekonomi, pendidikan, karakter yang berbeda-beda, semua harus kita jalani, apalagi kita tidak bisa mengelak, karena kadang karakter seseorang itu tidak bisa kita hindari, kalau seseorang mencintai kita maka kesalahan apapun akan selalu baik di mata mereka, sebaliknya kalau seseorang membenci kita, kebaikan apa pun akan terlihat buruk di mata dia.
Suasana hati bisa sangat berkuasa atas wawasan, pikiran dan tindakan seseorang, Bila sedang marah , kita paling mudah untuk mengingat hal-hal atau kejadian-kejadia yang akan memunculkan dendam. Diri kita berusaha mencari obyek-obyek untuk melampiaskan kemarahan kita, kita akan mudah tersinggung dan mencari-cari alasan yang logis sebagaim ‘pembenaran’ dan rasionalisasi penumpahan kebencian.
Ketika kemarahan memuncak, suasana hati sering kali bergolak tak terkendali.Tekanan yang kian bertumpuk terus membengkak hingga mencapai titik batas, dan terus bertumpuk sehingga mendekati titik kritis yang tak tertahankan. Akibatnya, persoalan kecil yang biasanya tidak menimbulkan masalah apa-apa, akan berubah menjadi persoalan serius yang sangat mengesalkan hati, dan membuat kita akan resah dan menjadi gusar. Semua ketegangan menjadi bertumpuk, dan itulah hal yang membuat kita menjadi buta. Setelah meledak, barulah timbul penyesalan, tetapi terlambat karena ledakan itu telah terlontar dan mengenai orang lain
Pelatihan apa yang cocok untuk meluluhkan kalbu, mengendalikan diri?
“Sekiranya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasa langit dan bumi, dan sekalian makhluk di dalamnya.
Tidak, Kami telah datangkan peringatan pada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan (yang diberikan kepada mereka).”
QS Al Mu’minun (Orang Beriman) 23:71
Sebagai umat muslim yang taat akan ajaran Rukun Islam, harusnya sudah mengetahui sebuah pelatihan yang diwajibkan Alloh SWT untuk mengendalikan emosi yang berlebihan, salah satunya adalah dengan melaksanakan ‘PUASA’.
Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan dilambangkan dengan puasa sebenarnya adalah mencapai sebuah keberhasilan, bukan sebuah pelarian diri dari kenyataan hidup di dunia yang seharusnya dihadapi.
Tujuan puasa sebenarnya adalah “menahan diri”, dalam arti yang sangat luas. Menahan diri dari belenggu ego duniawi yang tidak terkendali dan keluar dari garis orbit atau nafsu batiniah yang tidak seimbang. Kesemuanya itu apabila tidak diletakan pada pusat orbit yang benar akan berakibat pada ketidaksembangan hidup, yang kemudian akan berakhir pada kegagalan dan kehancuran.
Secara umum, tujuan berpuasa adalah mencapai kemerdekaan sejati.
Merdeka dan bebas dari berbagai belenggu yang mengungkung hatinya.
Puasa adalah metode pelatihan rutin dan sistematis untuk menjaga fitrah manusia sehingga ia tetap memiliki kesadaran diri yang fitrah, dan akhirnya akan menghasilkan sebuah”Akhlakul Karimah”.
“Sungguh,sejahat-jahatnya makhluk menurut Alloh, ialah orang yang tuli dan bisu, orang yang tidak menggunakan akal.”
QS Al Anfaal (Rampasan Perang)8:22.
Puasa tanpa didahului dengan tujuan ( niat), hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Puasa harus didahului dengan Syahadat kepada Alloh dan Rosul-Nya, kemudian dilanjutkan dengan sholat dalam urutan rukun Islam, barulah ibadah puasa dilakukan. Artinya kita harus memahami seluruh perintah Alloh dan Rosul-Nya serta makna sholat sesungguhnya, sebelum kita melakukan puasa. Jadi, puasa tidak berdiri sendiri, namun satu kesatuan dari keseluruhan Rukun Iman dan Rukun Islam, agar selalu tetap memiliki kejernihan hati serta sekaligus merupakan pelatihan untuk menghentikan segala bentuk pengabdian selain kepada Alloh Yang Maha Esa.
Inilah bentuk pelatihan dahsyat dan sempurna yang metodenya langsung diberikan oleh Alloh SWT.
Seseotrang yang telah mampuh menghentikan pengabdian dirinya kepada selain Alloh, maka akan menjadi pribadi-pribadi yang hebat, yang akan meningkatkan seluruh potensi diri untuk menghasilkan yang terbaik dengan standar yang sangat tinggi dan tidak berhenti pada batasan duniawi yang relatif rendah, bahwa puasa adalah bentuk pelatihan untuk memelihara spiritual capital, dalam rangka memerdekaan diri dari belenggu emosi, pikiran dan egoisme.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu. Semoga kamu bertaqwa kepada Tuhan.”
QS.Al Baqoroh (Sapi Betina)2;183.